Oleh: Supriadi Alaina (Tokoh Masyarakat/Pembina Forum Penambang Rakyat Bone Bolango)
Bayangkan! sebuah perusahaan tambang raksasa dengan nama gemerlap: Gorontalo Minerals. Bayangkan pula konsesi tambang emas yang membentang seluas 24.995 hektare, lengkap dengan jargon investasi untuk kesejahteraan daerah.
Kini bayangkan dengan akal sehat! sudah 26 tahun mereka (GM) bersemayam di Bone Bolango, sejak 1998 hingga 2025.Namun!!! produksi emasnya Nihil atau Kosong, Tidak ada alias Nol besar.
Tapi jangan khawatir, meski emasnya belum keluar, kerusakan lingkungannya sudah mulai terasa. Sungai tercemar, Hutan mulai Gundul, masyarakat di sekitar hidup dalam ketidakpastian.”Selamat datang di Bone Bolango, Tanah Kaya tapi bukan untuk Rakyatnya.”
Izin Panjang, Produksi Absen! Kontrak Karya Rasa Liburan!
PT Gorontalo Minerals (anak usaha Bumi Resources Minerals dan Antam) mendapatkan kontrak karya sejak 1998.
Dapat izin operasi produksi sejak 2019 yang berlaku hingga 2052. Luar biasa bukan!!! Lebih dari setengah hidup manusia, izin itu bisa diwariskan seperti warisan keluarga.
Tapi jangan harap ada kemakmuran turun ke desa-desa. Selama 26 tahun, yang turun justru eskavator, papan larangan, dan konflik agraria.
Produksi emas? Belum ada. Padahal kalau kita petik janji dari pidato-pidato mereka, mungkin daerah sudah jadi Dubai-nya Gorontalo.
Lingkungan lebih dahulu Rusak, Tambang Belum Jalan!
Ironi klasik: tambang belum produksi, tapi kerusakan sudah menganga. Sungai Bone yang dulunya jernih sekarang lebih cocok disebut “air mata bumi”keruh dan penuh luka.
Longsor mematikan di area tambang rakyat (yang kebetulan masuk wilayah konsesi perusahaan) menelan belasan nyawa pada Juli 2024.
Saat itu, alih-alih empati, yang muncul justru perdebatan siapa yang ilegal: rakyat yang menambang atau perusahaan yang diam seribu bahasa?
PT GM tidak disalahkan. Mereka seperti tamu yang datang ke pesta, membalik meja, lalu menyalahkan pemilik rumah karena kacanya pecah.
Ganti Rugi Lahan? Masih dalam Proses, Katanya!
Warga Bone Bolango bukan menolak tambang, mereka hanya menuntut kejelasan. Sejak 2013, konflik lahan tak kunjung usai.
Beberapa warga bahkan belum menerima ganti rugi, meski alat berat sudah masuk dan batas-batas wilayah adat dilanggar.
Tapi yah, perusahaan besar memang punya kesabaran tingkat dewa saat urus hak rakyat. Lambatnya luar biasa. Mungkin mereka pikir rakyat bisa hidup dari menghirup debu tambang sambil menunggu cek cair.
PAD Masih Angan-Angan, Ekonomi Lokal Dikunci!
Pemerintah daerah bermimpi meraup PAD ratusan miliar dari tambang ini. Angka yang bagus untuk presentasi. Tapi realitasnya, jalan ke desa tetap berlubang, sekolah reyot, dan ekonomi lokal mati suri.
UMKM dan petani aren yang dulu bisa bernafas, kini dicekik perlahan oleh klaim wilayah dan papan larangan.
Tambang rakyat, yang sebenarnya menopang ekonomi kerakyatan, di cap “ilegal”. Tapi tambang besar yang tak produktif malah dilabeli “strategis”. Logika macam apa ini? Di negeri ini, yang punya alat berat selalu menang debat.
Sementara Itu, Hutan dan Satwa Menunggu Waktu!
Konsesi PT GM mencaplok sebagian hutan lindung dan kawasan produksi terbatas. Di dalamnya, terdapat rumah bagi satwa langka seperti julang Sulawesi.
Tapi jangan khawatir, kita tidak perlu menunggu penambangan aktif untuk kehilangan mereka. Eksplorasi, pembukaan jalan, dan deru alat berat sudah cukup untuk membuat mereka angkat kaki. Mungkin di masa depan, kita hanya bisa melihat mereka di logo LSM atau mural dinding.
Keadilan yang Dipertaruhkan!
Pertanyaan sederhananya: untuk siapa tambang ini ada?
Jika jawabannya bukan “rakyat Bone Bolango”, maka kita sudah tahu siapa yang selama ini dihidangkan emas dan siapa yang hanya diberi tanah lumpur.
Saatnya Kembali ke Rakyat!
Jika perusahaan sudah diberi waktu 26 tahun dan belum menunjukkan hasil, bukankah sudah saatnya kita mencabut“karpet merah” itu?
Jika tambang rakyat dicap sebagai masalah, sementara tambang raksasa justru sumber kerusakan, mungkin kita harus membalik narasi:
Rakyatlah solusi, bukan ancaman!
Kembalikan wilayah ini ke tangan rakyat. Legalkan WPR dengan pengawasan yang benar. Biarkan masyarakat mengelola sumber daya dengan cara yang manusiawi, berkelanjutan, dan berkeadilan.
Karena Bone Bolango tidak butuh perusahaan yang hanya pandai menggali janji.(Rd.SN)