Oleh: Dahlan Pido, Praktisi Hukum
Ketua Alumni 82 Ikasmansa
Sangat disayangkan, sebuah organisasi berwibawa seperti Ikatan Alumni SMA Negeri 1 (Ikasmansa) Gorontalo, yang sejatinya dibangun di atas nilai-nilai keilmuan dan persaudaraan, kini dihadapkan pada keretakan akibat praktik-praktik yang tidak elegan. Ulah segelintir oknum yang bertindak seperti aktivis ormas, menjadi virus dan provokator yang mengancam keutuhan alumni.
Sebagai bagian dari komunitas intelektual, alumni Smansa seharusnya menampilkan karakter pejuang ilmu dan pengabdi persatuan — bukan mementingkan kepentingan kelompok. Namun keprihatinan ini muncul ketika nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang terkandung dalam sila keempat Pancasila mulai terpinggirkan oleh ambisi pribadi dan kelompok tertentu.
Hasil Musyawarah Nasional (Munas) Ikasmansa pada 14 Februari 2025 di Bandung sejatinya telah menghasilkan keputusan penting: terpilihnya Ketua Umum (Ketum) dan Ketua Majelis Pertimbangan (MP) secara bulat dari seluruh perwakilan angkatan, mulai 1960-an hingga 2024. Berdasarkan keputusan itu, Ketum diberi mandat membentuk struktur kepengurusan bersama enam orang formatur dalam waktu tiga bulan, dengan kelonggaran hingga enam bulan — tepatnya sampai Agustus 2025.
Namun, hingga September 2025, pembentukan kepengurusan tak kunjung terlaksana. Ketua MP bersama beberapa anggota telah berupaya melakukan komunikasi melalui pesan, telepon, hingga surat resmi. Banyak alumni dari berbagai angkatan pun mulai mempertanyakan kejelasan pelantikan, tetapi semua berujung pada kevakuman — tak ada kepastian kapan roda organisasi kembali berjalan.
Kondisi vakum tersebut menandakan kelalaian menjalankan amanah Munas, sebab mandat pembentukan pengurus tak terlaksana hingga masa formatur berakhir. Dalam konteks organisasi, hal ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi bentuk culpa (kelalaian) yang dapat berimplikasi hukum — baik secara administratif, perdata, maupun pidana — jika mengabaikan amanah yang telah disepakati bersama.
Sebagaimana dalam hukum pidana, kelalaian dianggap kesalahan apabila menimbulkan akibat yang dilarang, seperti contoh seorang dokter yang lalai hingga menyebabkan kegagalan operasi. Dalam konteks organisasi alumni, kelalaian bisa menimbulkan keresahan, perpecahan, dan melemahnya solidaritas antarangkatan. Semua itu berakar dari kurangnya komunikasi, minimnya saling pengertian, dan munculnya egoisme kelompok.
Kini saatnya kita merenung: jangan biarkan Ikasmansa — rumah besar kita bersama — terpecah oleh ambisi dan kepentingan pribadi. Mari kembali berpegang tangan dalam semangat persaudaraan dan musyawarah. Harmonisasi dalam keberagaman bukan sekadar idealisme, tetapi kebutuhan mendasar untuk menjaga kedamaian dan kemajuan bersama.
Toleransi bukan berarti menerima perbedaan dengan setengah hati, melainkan menghargai dan merayakan keunikan tiap alumni. Mari kita tinggikan nilai kemanusiaan dan kebersamaan di atas ego kelompok. Sebab, kerukunan jauh lebih berharga daripada kemenangan pribadi.
Salam hormat,
DP.

