Oleh Redaksi Investigasi
SINDITOnews.com
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menolak gugatan Forum Penambang Rakyat Bone Bolango terhadap PT Gorontalo Minerals (GM) kembali membuka perdebatan lama:
Apakah hukum benar-benar menjadi ruang keadilan bagi rakyat kecil, atau sekadar arena formal yang hanya bisa dimenangkan oleh mereka yang memiliki sumber daya dan kekuatan hukum?
Dalam amar putusan Nomor 162/G/2025/PTUN.JKT, majelis hakim menyatakan gugatan para penambang tidak dapat diterima karena tidak memiliki legal standing.
Artinya, gugatan itu gugur bahkan sebelum pengadilan menyentuh substansi perkara — apakah izin tambang GM merugikan masyarakat atau tidak.
Bagi publik, keputusan semacam ini terasa dingin dan kering. Rakyat yang menggugat bukan karena ingin menang perkara, tapi karena ingin didengar dan diakui sebagai pihak yang terdampak langsung dari aktivitas pertambangan di wilayah mereka.
Namun, dalam praktiknya, rakyat sering kali kalah di pintu masuk pengadilan, tersandung di soal administratif: badan hukum, dokumen resmi, atau frasa “kedudukan hukum”.
Dari sisi hukum formil, hakim memang berhak menolak gugatan yang tidak memenuhi syarat kedudukan hukum.
Namun dari sisi keadilan sosial, keputusan seperti ini sering kali menimbulkan kesan bahwa rakyat hanya boleh menggugat, tapi tidak boleh diterima.
Bukan rahasia lagi, dalam banyak kasus sengketa tambang di Indonesia, pola yang sama berulang: gugatan rakyat ditolak karena alasan formil, sementara korporasi berjalan mulus dengan legitimasi penuh dari izin pemerintah.
Sulit dibuktikan adanya konspirasi langsung antara perusahaan dan lembaga hukum. Namun, bias sistemik nyaris tak terbantahkan.
Hakim cenderung lebih percaya pada dokumen resmi dan argumentasi hukum korporasi yang disusun rapi oleh tim pengacara profesional.
Sementara rakyat datang dengan surat kuasa seadanya, dokumen terbatas, dan semangat memperjuangkan tanah kelahiran.
Inilah bentuk halus dari ketimpangan struktural:
Keadilan tidak selalu dijual, tapi sering kali hanya bisa dibeli oleh yang punya akses dan kekuatan hukum.
Putusan PTUN Jakarta atas sengketa ini seharusnya menjadi alarm moral bagi lembaga peradilan dan pemerintah daerah.
Publik berhak tahu bagaimana pertimbangan hukum dijatuhkan, dan apakah semua proses telah benar-benar berjalan transparan.
Komisi Yudisial (KY) perlu melakukan pemantauan etik terhadap proses persidangan perkara tambang besar seperti ini, untuk memastikan tidak ada intervensi kekuasaan atau kepentingan ekonomi yang menekan independensi hakim.
Sementara itu, DPRD Provinsi Gorontalo dan DPRD Bone Bolango juga didesak untuk turun tangan — memanggil pihak-pihak terkait, termasuk PT Gorontalo Minerals dan perwakilan Forum Penambang, agar keadilan substantif tidak berhenti di balik palu sidang.
Karena pada akhirnya, rakyat hanya ingin satu hal:
dihargai sebagai manusia yang punya hak hidup di tanahnya sendiri, bukan sebagai pihak yang dikalahkan oleh prosedur.
(Rd.YgsMono)


