Oleh : [Yogis Mono/Redaksi]
“Apabila rakyat yang menambang — legalkan!”
Pernyataan tegas Presiden Prabowo Subianto itu sempat menggema ke seluruh pelosok negeri, membawa harapan baru bagi jutaan rakyat kecil yang selama ini bekerja di sektor tambang tradisional. Kalimat itu sederhana, namun mengandung makna politik hukum yang besar: negara seharusnya berpihak pada rakyat, bukan pada korporasi.
Rakyat yang Menambang, Negara yang Menutup Mata
Selama puluhan tahun, di banyak daerah — mulai dari Gorontalo, Sulawesi Tengah, Kalimantan, hingga Papua — rakyat menambang dengan cara manual, menggunakan alat sederhana, mengandalkan tenaga, keyakinan, dan sedikit keberuntungan. Mereka bukan perampas, bukan penjahat, tetapi pewaris tanah yang sejak lama menyimpan hasil alam yang melimpah.
Namun sayang, negara seolah menutup mata.
Wilayah yang sudah digarap rakyat puluhan tahun disebut sebagai kawasan konsesi perusahaan. Pemerintah daerah pun terbelenggu oleh izin pusat dan korporasi besar yang memonopoli ribuan hektar lahan tambang dengan dalih “izin resmi”.
Rakyat yang hidup di sekitar tambang tidak pernah diajak bicara, tidak pernah dilibatkan, bahkan tidak diberi akses untuk mengurus Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Akibatnya, rakyat terus-menerus berada dalam posisi “ilegal” — bukan karena ingin melawan hukum, tetapi karena negara tidak memberikan jalan legal.
Hukum yang Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas
Ironinya, ketika tambang rakyat menghasilkan sedikit, aparat menyebutnya pelanggaran kecil. Tetapi ketika rakyat berhasil, ketika hasilnya mencapai puluhan miliar dan digunakan untuk membangun ekonomi keluarga — mendirikan toko, rumah makan, hingga rumah sewa — hukum tiba-tiba hadir dengan wajah sangar: Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Inilah paradoks hukum yang paling menyakitkan:
Rakyat di teror dengan hukum karena berhasil, bukan karena bersalah.
UU TPPU yang sejatinya dibuat untuk menjerat pejabat, pengusaha, dan pelaku kejahatan keuangan besar, kini justru diarahkan pada rakyat yang sekadar mengubah hasil kerja keras menjadi modal usaha. Penegakan hukum kehilangan ruhnya, berubah menjadi alat untuk menakuti, bukan melindungi.
Kedaulatan Daerah yang Diabaikan
Padahal, daerah memiliki hak otonom berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam semangat otonomi, pemerintah provinsi dan kabupaten memiliki kewenangan untuk mengelola potensi sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat setempat. Tetapi dalam praktik, kewenangan ini sering “dikebiri” oleh dominasi perizinan pusat dan tekanan dari korporasi besar yang telah lama memegang kontrak karya.
Hasilnya, pemerintah daerah tidak berani mengeluarkan izin tambang rakyat, meski wilayah itu telah digarap turun-temurun. Rakyat terjebak dalam lingkaran hukum yang tidak berpihak, sementara kekayaan alam terus mengalir keluar tanpa meneteskan kesejahteraan sedikit pun untuk masyarakat lokal.
Pernyataan Presiden dan Harapan Baru
Ketika Presiden Prabowo Subianto menyatakan,
“Apabila rakyat yang menambang, LEGAL-kan.”
itu bukan sekadar ucapan politik, melainkan mandat moral dan hukum.
Kalimat itu menegaskan bahwa negara harus mengubah pendekatan hukumnya.
Rakyat tidak boleh lagi dianggap kriminal hanya karena tidak berizin, apalagi bila mereka telah menambang selama puluhan tahun tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan yang berarti.
Pernyataan itu menggema di berbagai wilayah tambang rakyat:
- Di Bone Bolango, rakyat menyambutnya dengan harapan akan dilegalkannya tambang mereka.
- Di Bombana, para penambang manual menafsirkan kalimat itu sebagai tanda pengakuan negara atas hak mereka.
- Di Kalimantan, suara itu menjadi simbol perjuangan untuk mengakhiri monopoli tambang oleh korporasi.
Namun, gema itu kini mulai memudar karena implementasinya belum tampak.
Rakyat masih ditangkap, alat masih disita, dan hukum masih membedakan antara “yang berizin” dan “yang berkuasa”.
Keadilan yang Seharusnya
Negara harus memahami bahwa legalitas tidak selalu identik dengan keadilan.
Ketika izin hanya bisa dimiliki oleh mereka yang punya modal besar, sementara rakyat kecil tidak punya akses untuk mengurusnya, maka hukum telah gagal menjadi alat pemerataan.
Rakyat yang menambang secara turun-temurun adalah bagian dari sejarah ekonomi bangsa. Mereka tidak mencuci uang; mereka mencuci lumpur dan batu demi bertahan hidup.
Mereka bukan pelaku kejahatan finansial, tapi korban dari sistem perizinan yang menutup ruang hidup rakyat kecil.
Menuju Reformasi Tambang Rakyat
Sudah saatnya paradigma hukum berubah. Negara perlu :
- Melebarkan wilayah tambang rakyat (WPR) dengan peta geologi yang berpihak pada masyarakat lokal.
- Membentuk sistem izin sederhana berbasis komunitas, bukan korporasi.
- Memberikan pendampingan dan edukasi agar tambang rakyat bisa bertransformasi menjadi tambang berkelanjutan.
- Menghapus kriminalisasi atas dasar nilai ekonomi hasil tambang.
- Menindak tegas korporasi yang memonopoli wilayah rakyat dan memanipulasi izin untuk menekan masyarakat sekitar.
Paradoks hukum tambang tidak boleh terus berlanjut.
Rakyat yang menggali tanahnya sendiri, bekerja dengan tangan dan keringatnya sendiri, tidak boleh terus dianggap kriminal.
Selama negara lebih cepat menghukum rakyat daripada mengesahkan haknya, selama itu pula hukum bukan alat keadilan, melainkan alat kekuasaan.
Sudah waktunya pemerintah, aparat, dan penegak hukum menepati makna kalimat Presiden Prabowo:
“Apabila rakyat yang menambang, LEGAL-kan.”
Bukan hanya diucapkan, tetapi diwujudkan sebagai kebijakan hukum yang nyata — agar rakyat tidak lagi dihukum karena kaya di tanahnya sendiri.

